Panutanku
Karya: Ika
Rustika,S.Pd.
Empat tahun sudah ibuku
meninggalkan kami. Sambutannya yang penuh kegembiraan ketika kami sekeluarga
pulang kampung, tidak akan ada lagi. Sosok perempuan yang sudah renta dan
badannya sudah membungkuk, kalau bicara lemah lembut dan kadang-kadang
diselingi dengan canda tawa tidak akan kutemukan lagi.
Masih terbayang jelas dibenakku
kejadian empat tahun yang lalu dimana adikku mengabarkan bahwa ibuku sakit dan
dilarikan ke salah satu Rumah Sakit swasts yang ada di Tasikmalaya. Hasil
diagnosa ibuku terkena serangan jantung dan gula darahnya tinggi, ibuku koma
dan dipasang infusan untuk membantu memberikan makanan dalam bentuk cairan agar
masuk ke tubuhnya.
Selama tiga hari ibuku dirawat di
Rumah Sakit dan Alhamdulillah darahnya sudah normal kembali, begitupun gula
darahnya sudah stabil kembali, sehingga dokter pun mengizinkan untuk pulang,
cuma sayang dampak dari darah tinggi dan gula darah tinggi itu ibuku bicaranya
menjadi tidak jelas (rero dalam bahase Sunda).
Setelah kepulangan ibuku dari Rumah
Sakit serta melihat perkembangan kesehatannya membaik, keesokan harinya aku
pamitan dulu pada ibuku untuk pulang ke Padalarang, karena ada urusan yang
harus saya selesaikan dulu. Ibuku mengizinkan dengan memberi kode berupa
kidipan mata.
Ketika malam harinya, waktu saya sedang
menonton TV, adik perempuanku menelpon bahwa ibuku anfal lagi dan ibuku dibawa
lagi ke Rumah Sakit.
Perasaanku menjadi tidak enak, hal-hal
membayangi pikiranku. Dan memang benar ketika hal yang aku takutkan terjadi,
adikku mengabarkan lagi bahwa ibuku sudah tiada. Akupun menangis, menyesali hal
yang aku lakukan. Coba saat itu aku tidak pulang dulu, mungkin saat-saat
terakhir menjelang kepergian aku berada disisinya, aku tidak akan dihantui rasa
bersalah. Maafkan aku ibu… mengurus ibu yang cuma seorang saja tidak mampu, tapi
engkau adalah perempuan yang hebat mampu mengurus enam orang anak tanpa bantuan
ART.
Hal yang aku ingat sampai sekarang
adalah ketika menyuruhku mengaji kadang pada saat itu aku suka nakal, malah
bersembunyi di bawah rumah / kolong rumah (dalam bahasa Sunda) belum permanen,
sehingga suka dipakai untuk sembunyi atau bermain. Tapi ibuku ketika aku tidak
mau pergi ke masjid untuk mengaji ibuku rela menjadi guru ngaji untuk anak-
anaknya di rumah. Padahal Siang harinya beliau disibukkan dengan seabreg
pekerjaan rumah tangganya.
Masih banyak hal lain yang dapat
kuteladani dari sosok ibuku, sehingga aku menjadikannya beliau sebagai panutan
dalam hidupku, baik dalam cara mendidik anak-anaknya, menata hidup dengan
keserhanaan, kesabarannya dan lemah-lembut dalam mendidik anak-anaknya.
Terimakasih ibuku. Semoga engkau
tenang di alam sana, dan semua amal kebaikannya di terima diterima oleh Allah
Subhanahu Wata'ala. Amin....

No comments:
Post a Comment